INILAH WAHANA PELUNCUR SATELIT BUATAN ANAK BANGSA INDONESIA, MEMBUKTIKAN BAHWA INSINYUR KITA DIAKUI DUNIA...
Kabar membanggakan datang dari salah satu kandidat doktor di TU Delft
asal Indonesia, yaitu Dwi Hartanto. Pada tanggal 5 Juni 2015 lalu, Dwi
dan tim sukses meluncurkan sebuah wahana peluncur satelit dengan
teknologi mutakhir di fasilitas tes roket dan alat tempur Ministrie van
Defensie (Kemeterian Pertahanan Belanda).
Wahana yang diberi nama The Apogee Ranger V7S (TARAV7S) tersebut
dilengkapi dengan sejumlah teknologi yang membuatnya istimewa, antara
lain hybrid rocket engine, auto-guidance radar, dan sistem aerodinamik
aktif dengan Stability Augmentation System (SAS) dan modul-modul
Internal Measurement Unit (IMU).
Di samping teknologi yang mumpuni, peluncuran roket ini juga ditandai
dengan sejumlah pemecahan rekor, yang antara lain adalah supersonic
liftoff dan pencapaian titik jelajah apogee 23% lebih tinggi untuk jenis
roket di kelas yang sama.
Prestasi ini semoga bisa menjadi motivasi bagi kawan-kawan PPI Delft
di segala penjuru. Semoga akan muncul lagi prestasi-prestasi
membanggakan lainnya dari kawan-kawan semua.
Kunjungi Indonesia
Kini ahli pesawat dan penerbangan Dwi Hartanto, bersama 44 profesor
dan doktor asal Indonesia yang berkarier dan menetap puluhan tahun di
luar negeri, berkumpul di Jakarta, Minggu 18 Desember 2016. Mereka
datang memenuhi undangan Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan
Tinggi RI untuk memberikan bimbingan kepada ratusan peneliti dari 55
universitas dan perguruan tinggi nasional.
Direktur Jenderal Sumber Daya Iptek dan Pendidikan Tinggi,
Kemenristekdikti RI, Ali Ghufron Mukti menyatakan, mereka merupakan
profesor kelas dunia yang telah menerbitkan ratusan publikasi
internasional. Mereka akan tinggal di Indonesia selama sepekan.
“Mereka akan berkolaborasi, berbagi pandangan dan pengalaman dengan
para doktor dan mahasiswa S3 dalam pengembangan penelitian. Tidak
menutup kemungkinan, para profesor ini tertarik untuk kembali pulang dan
menetap di Indonesia,” ujar Ali dalam sesi ramah tamah bertema “Ngopi
Sore Bersama Profesor Diaspora”, di Jakarta.
Dalam sesi diskusi tersebut, para profesor diaspora memberikan
beragam pandangan dan masukan untuk perbaikan kualitas pendidikan tinggi
nasional. Profesor Deden Rukmana misalnya, ia menegaskan saat ini
banyak sekali profesor Indonesia yang mengajar di berbagai universitas
di Amerika Serikat. Menurut dia, mereka ingin pulang dan mengabdi di
tanah air.
“Tapi ada mekanisme yang harus disinergiskan dengan pemerintah.
Seperti rencana jangka panjang kurikulum pendidikan tinggi. Terkadang,
keahlian yang kami miliki dan berguna di luar negeri justru susah
diterapkan di Indonesia,” ujar ahli tata kota dan transportasi massal
asal Bandung ini.
Ahli pesawat dan penerbangan Dwi Hartanto menambahkan, setelah PT
Dirgantara Indonesia bangkrut, banyak penelitinya yang kini bekerja di
Airbus dan Boeing. “Sebagian besar dari mereka menempati posisi
strategis, bahkan ada yang di top level. Amerika dan Prancis mendapat
durian runtuh dari Indonesia,” katanya. Dwi kini menjadi peneliti di
Belanda dan sudah menetap sekitar 15 tahun.
Selain Dwi dan Deden, para profesor lain yang hadir di antaranya
adalah para ahli farmasi, perminyakan, dan komunikasi sosial. “Jakarta
ini satu-satunya kota besar di dunia yang belum memiliki MRT. Dan ini
sangat unik karena Indonesia memiliki banyak sekali ahli transportasi
massal,” kata Deden.
Para profesor diaspora itu di antaranya akan mengunjungi ITB, UNS,
ITS, Undana. Program diaspora merupakan langkah awal dari rencana
Kemenristekdikti untuk mengundang 500 profesor kelas dunia yang akan
membimbing para peneliti nasional agar produktif dalam membuat publikasi
internasional.
No comments:
Post a Comment