Translate

Tuesday 20 December 2016

INILAH WAHANA PELUNCUR SATELIT BUATAN ANAK INDONESIA

INILAH WAHANA PELUNCUR SATELIT BUATAN ANAK BANGSA INDONESIA, MEMBUKTIKAN BAHWA INSINYUR KITA DIAKUI DUNIA...


Kabar membanggakan datang dari salah satu kandidat doktor di TU Delft asal Indonesia, yaitu Dwi Hartanto. Pada tanggal 5 Juni 2015 lalu, Dwi dan tim sukses meluncurkan sebuah wahana peluncur satelit dengan teknologi mutakhir di fasilitas tes roket dan alat tempur Ministrie van Defensie (Kemeterian Pertahanan Belanda).
Wahana yang diberi nama The Apogee Ranger V7S (TARAV7S) tersebut dilengkapi dengan sejumlah teknologi yang membuatnya istimewa, antara lain hybrid rocket engine, auto-guidance radar, dan sistem aerodinamik aktif dengan Stability Augmentation System (SAS) dan modul-modul Internal Measurement Unit (IMU).

Di samping teknologi yang mumpuni, peluncuran roket ini juga ditandai dengan sejumlah pemecahan rekor, yang antara lain adalah supersonic liftoff dan pencapaian titik jelajah apogee 23% lebih tinggi untuk jenis roket di kelas yang sama.
Prestasi ini semoga bisa menjadi motivasi bagi kawan-kawan PPI Delft di segala penjuru. Semoga akan muncul lagi prestasi-prestasi membanggakan lainnya dari kawan-kawan semua.


Kunjungi Indonesia

Kini ahli pesawat dan penerbangan Dwi Hartanto, bersama 44 profesor dan doktor asal Indonesia yang berkarier dan menetap puluhan tahun di luar negeri, berkumpul di Jakarta, Minggu 18 Desember 2016. Mereka datang memenuhi undangan Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi RI untuk memberikan bimbingan kepada ratusan peneliti dari 55 universitas dan perguruan tinggi nasional.

Direktur Jenderal Sumber Daya Iptek dan Pendidikan Tinggi, Kemenristekdikti RI, Ali Ghufron Mukti menyatakan, mereka merupakan profesor kelas dunia yang telah menerbitkan ratusan publikasi internasional. Mereka akan tinggal di Indonesia selama sepekan.
“Mereka akan berkolaborasi, berbagi pandangan dan pengalaman dengan para doktor dan mahasiswa S3 dalam pengembangan penelitian. Tidak menutup kemungkinan, para profesor ini tertarik untuk kembali pulang dan menetap di Indonesia,” ujar Ali dalam sesi ramah tamah bertema “Ngopi Sore Bersama Profesor Diaspora”, di Jakarta.
Dalam sesi diskusi tersebut, para profesor diaspora memberikan beragam pandangan dan masukan untuk perbaikan kualitas pendidikan tinggi nasional. Profesor Deden Rukmana misalnya, ia menegaskan saat ini banyak sekali profesor Indonesia yang mengajar di berbagai universitas di Amerika Serikat. Menurut dia, mereka ingin pulang dan mengabdi di tanah air.
“Tapi ada mekanisme yang harus disinergiskan dengan pemerintah. Seperti rencana jangka panjang kurikulum pendidikan tinggi. Terkadang, keahlian yang kami miliki dan berguna di luar negeri justru susah diterapkan di Indonesia,” ujar ahli tata kota dan transportasi massal asal Bandung ini.

Ahli pesawat dan penerbangan Dwi Hartanto menambahkan, setelah PT Dirgantara Indonesia bangkrut, banyak penelitinya yang kini bekerja di Airbus dan Boeing. “Sebagian besar dari mereka menempati posisi strategis, bahkan ada yang di top level. Amerika dan Prancis mendapat durian runtuh dari Indonesia,” katanya. Dwi kini menjadi peneliti di Belanda dan sudah menetap sekitar 15 tahun.
Selain Dwi dan Deden, para profesor lain yang hadir di antaranya adalah para ahli farmasi, perminyakan, dan komunikasi sosial. “Jakarta ini satu-satunya kota besar di dunia yang belum memiliki MRT. Dan ini sangat unik karena Indonesia memiliki banyak sekali ahli transportasi massal,” kata Deden.
Para profesor diaspora itu di antaranya akan mengunjungi ITB, UNS, ITS, Undana. Program diaspora merupakan langkah awal dari rencana Kemenristekdikti untuk mengundang 500 profesor kelas dunia yang akan membimbing para peneliti nasional agar produktif dalam membuat publikasi internasional.

No comments:

Post a Comment