Dunia industri penerbangan Indonesia terus bergerak mengejar
kemandirian di bidang pembuatan pesawat. Kendaraan udara ini sangat
dibutuhkan oleh negara kepulauan seperti Indonesia, di mana penduduk
membutuhkan transportasi yang cepat.
Untuk itu PT Dirgantara Indonesia atau PTDI berencana membuat pesawat baru berkapasitas kurang lebih 50 penumpang. Pesawat N-245 itu akan dikerjakan PTDI dan Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional atau Lapan, dengan model hampir sama dengan pesawat N-235.
Direktur Utama PTDI, Budi Santoso mengatakan, PTDI saat ini mulai merencanakan proyek pengerjaan pesawat yang dilengkapi teknologi Short Take-Off and Landing (STOL) atau mampu tinggal landas dan mendarat di landasan pendek, yakni 800 meter.
“Hanya 25 persen baru lainnya enggak. Kami akan ambil sayap pesawat CN-235, yang dipakai CN-295. Engine pakai CN-295 tapi dikurangi. Dari CN-235 lebih panjang 1,8 meter. Perubahan penting di bagian belakang pesawat,” ungkap Budi di PTDI, Bandung, Jawa Barat, Senin 27 Februari 2017.
PTDI tak ingin bersaing dengan perusahaan pesawat raksasa dunia seperti Airbus dan Boeing. Karenanya yang disasar adalah pasar pesawat dengan kapasitas 50 penumpang. Rencananya pesawat itu akan diperkenalkan kepada publik, usai pesawat N-219 terbang perdana pertengahan tahun 2017.
Kepala LAPAN Thomas Djamaluddin mengatakan setelah pengembangan pesawat N219 yang sudah memasuki tahap akhir, diharapkan dapat terus berlanjut ke pesawat N245 dan N270. Dikutip dari Viva.co.id
N245 didesain untuk pesawat komersil. Pesawat ini sejenis dengan tipe ATR bermesin ganda.
"Kemungkinan besar ini kerja sama dengan LAPAN. Saat ini masih melakukan pre elementary design, internal test, pemilihan engine, dan yang lainnya," jelas Manajer Pengembangan Bisnis PTDI Krisnan dalam pameran Indodefence di JIExpo Kemayoran, Jakarta Utara.
Pesawat ini ditargetkan bisa mulai dibangun tahun 2017. Pesawat ini nantinya memiliki panjang 22,40 meter dengan lebar sayap 25,81 meter dan tinggi 8,42 meter.
"Ini masih tergantung dari LAPAN. Semoga tahun ini bisa mulai dikembangkan," kata Krisnan.
Setelah selesai diproduksi, N245 bisa melesat di udara dengan kecepatan maksimal mencapai 270 knot atau setara 500 km per jam. Dengan sekali pengisian bahan bakar, N 245 bisa menjangkau hingga 800 nano mil laut.
"Kecepatan bisa sampai 270 knot dengan daya jelajah 800 nano mil laut," tutup Krisnan.
Pesawat N245 akan menjadi pesaing ATR72. Namun, kelebihan dari N245 adalah bisa mendarat pada landasan pendek, sementara ATR72 harus mendarat dengan landasan yang panjang.
"Untuk di Indonesia kami optimistis, karena N245 ideal untuk penerbangan komersial jarak menengah yang menghubungkan antar bandara kecil," ujarnya, Rabu.
Irlan menjelaskan, saat ini, N245 masih dalam finalisasi konfigurasi untuk selanjutnya akan dilakukan uji terowongan angin.
Pesawat prototipe N245 ditargetkan siap beroperasi pada tahun 2018.
Pengembangan pesawat N245 itu sudah masuk dalam road map jangka panjang pengembangan pesawat pada Pustekbang Lapan.
Sebelumnya, PTDI sukses membuat prototipe N219 dan CN235. N219 adalah hasil ide dan desain PT DI dengan Lapan.
Pengembangan pesawat dengan kapasitas 19 penumpang ini telah dilakukan sejak Maret 2007.
pesawat ini ditargetkan mulai terbang pada 2018 mendatang.
“Masih dalam desain, jadi Insya Allah kita mulai karena ini pesawat derivatif (turunan) dari CN-235, jadi bukan pesawat baru 80 persen komponen sama dengan CN-235 dan CN-295. Jadi, kita targetkan 2018 sudah bisa terbang,” kata Direktur PT DI Budi Santoso.
Pembuatan pesawat N245 dinilai tidak seberat dalam pembuatan pesawat N219 karena merupakan pengembangan dari CN235.
“Kalau 219 itu buat semua baru, kalau 245 kita buat ekornya saja, jadi yang lain sama, sertifikasinya sama melanjutkan yang 235,” katanya.
Saat ini, ia mengatakan pihaknya tengah mengurus sertifikasi yang dibantu oleh perusahaan manufaktur pesawat yang bermarkas di Toulouse, Prancis melalui kerja sama.
Budi menngatakan hal itu dilakukan untuk mempercepat proses sertifikasi pesawat di bawah tipe ATR 72 tersebut.
“Kalau kita ingin mensertifikasi produk, katakanlah ke EASA atau FAA (Federal Aviation Administration), kalau kita apply (mengajukan) langsung, maka dapat urututan paling buntut (akhir),” katanya.
Ia mengatakan Airbus mendukung proyek ini karena akan melengkapi seri sebelumnya, yaitu CN-235 dan CN-295.
“Insya Allah akan cepat prosesnya karena ini bukan pesawat baru, 80 persen komponennya sudah ada di kita,” katanya.
Meskipun dalam proses sertifikasi dibantu oleh Airbus, Budi menegaskan ide dan desain murni hasil karya anak negeri.
Dia mengatakan N245 merupakan pesawat kecil untuk daerah komersil yang jika dikembangkan bisa berkapasitas bisa 30-50 penumpang seiring dengan perkembangan teknologi yang semula hanya 10-12 penumpang.
Saat ini, Budi menuturkan pesawat-pesawatnya sebagian besar dibeli untuk keperluan pemerintahan dibandingkan dengan swasta, porsinya masih 90:10 persen.
“Kalau untuk keperluan pemerintahan itu biasanya (mempertimbangkan) performance (kegunaan) paling penting, tapi kalau swasta itu harga paling penting,” katanya.
Selain itu, lanjut dia, negara-negara yang paling banyak memesan pesawat-pesawat PT DI tersebut, yaitu dari Timur Tengah dan Afrika.
“Itu pasar-pasar baru karena bisa dibilang dulu Afrika belum bisa beli pesawat baru, sekarang sudah bisa. Timur Tengah juga kita harapkan enggak ada masalah,” katanya.
Budi mengatakan salah satu kelebihan dari pesawat yang diproduksinya, yaitu bisa dimodifikasi sesuai pesanan, terutama untuk VVIP.
“VVIP juga bisa dua versi, bisa dipakai penumpang biasa, bisa dipakai medical (medis), jadi satu pesawat dengan berbagai konfigurasi seperti ini, kalau pabrik besar kan sudah malas mengerjakannya,” katanya.
Untuk itu PT Dirgantara Indonesia atau PTDI berencana membuat pesawat baru berkapasitas kurang lebih 50 penumpang. Pesawat N-245 itu akan dikerjakan PTDI dan Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional atau Lapan, dengan model hampir sama dengan pesawat N-235.
Direktur Utama PTDI, Budi Santoso mengatakan, PTDI saat ini mulai merencanakan proyek pengerjaan pesawat yang dilengkapi teknologi Short Take-Off and Landing (STOL) atau mampu tinggal landas dan mendarat di landasan pendek, yakni 800 meter.
“Hanya 25 persen baru lainnya enggak. Kami akan ambil sayap pesawat CN-235, yang dipakai CN-295. Engine pakai CN-295 tapi dikurangi. Dari CN-235 lebih panjang 1,8 meter. Perubahan penting di bagian belakang pesawat,” ungkap Budi di PTDI, Bandung, Jawa Barat, Senin 27 Februari 2017.
PTDI tak ingin bersaing dengan perusahaan pesawat raksasa dunia seperti Airbus dan Boeing. Karenanya yang disasar adalah pasar pesawat dengan kapasitas 50 penumpang. Rencananya pesawat itu akan diperkenalkan kepada publik, usai pesawat N-219 terbang perdana pertengahan tahun 2017.
Kepala LAPAN Thomas Djamaluddin mengatakan setelah pengembangan pesawat N219 yang sudah memasuki tahap akhir, diharapkan dapat terus berlanjut ke pesawat N245 dan N270. Dikutip dari Viva.co.id
N245 didesain untuk pesawat komersil. Pesawat ini sejenis dengan tipe ATR bermesin ganda.
"Kemungkinan besar ini kerja sama dengan LAPAN. Saat ini masih melakukan pre elementary design, internal test, pemilihan engine, dan yang lainnya," jelas Manajer Pengembangan Bisnis PTDI Krisnan dalam pameran Indodefence di JIExpo Kemayoran, Jakarta Utara.
Pesawat ini ditargetkan bisa mulai dibangun tahun 2017. Pesawat ini nantinya memiliki panjang 22,40 meter dengan lebar sayap 25,81 meter dan tinggi 8,42 meter.
"Ini masih tergantung dari LAPAN. Semoga tahun ini bisa mulai dikembangkan," kata Krisnan.
Setelah selesai diproduksi, N245 bisa melesat di udara dengan kecepatan maksimal mencapai 270 knot atau setara 500 km per jam. Dengan sekali pengisian bahan bakar, N 245 bisa menjangkau hingga 800 nano mil laut.
"Kecepatan bisa sampai 270 knot dengan daya jelajah 800 nano mil laut," tutup Krisnan.
Pesawat N245 akan menjadi pesaing ATR72. Namun, kelebihan dari N245 adalah bisa mendarat pada landasan pendek, sementara ATR72 harus mendarat dengan landasan yang panjang.
"Untuk di Indonesia kami optimistis, karena N245 ideal untuk penerbangan komersial jarak menengah yang menghubungkan antar bandara kecil," ujarnya, Rabu.
Irlan menjelaskan, saat ini, N245 masih dalam finalisasi konfigurasi untuk selanjutnya akan dilakukan uji terowongan angin.
Pesawat prototipe N245 ditargetkan siap beroperasi pada tahun 2018.
Pengembangan pesawat N245 itu sudah masuk dalam road map jangka panjang pengembangan pesawat pada Pustekbang Lapan.
Sebelumnya, PTDI sukses membuat prototipe N219 dan CN235. N219 adalah hasil ide dan desain PT DI dengan Lapan.
Pengembangan pesawat dengan kapasitas 19 penumpang ini telah dilakukan sejak Maret 2007.
pesawat ini ditargetkan mulai terbang pada 2018 mendatang.
“Masih dalam desain, jadi Insya Allah kita mulai karena ini pesawat derivatif (turunan) dari CN-235, jadi bukan pesawat baru 80 persen komponen sama dengan CN-235 dan CN-295. Jadi, kita targetkan 2018 sudah bisa terbang,” kata Direktur PT DI Budi Santoso.
Pembuatan pesawat N245 dinilai tidak seberat dalam pembuatan pesawat N219 karena merupakan pengembangan dari CN235.
“Kalau 219 itu buat semua baru, kalau 245 kita buat ekornya saja, jadi yang lain sama, sertifikasinya sama melanjutkan yang 235,” katanya.
Saat ini, ia mengatakan pihaknya tengah mengurus sertifikasi yang dibantu oleh perusahaan manufaktur pesawat yang bermarkas di Toulouse, Prancis melalui kerja sama.
Budi menngatakan hal itu dilakukan untuk mempercepat proses sertifikasi pesawat di bawah tipe ATR 72 tersebut.
“Kalau kita ingin mensertifikasi produk, katakanlah ke EASA atau FAA (Federal Aviation Administration), kalau kita apply (mengajukan) langsung, maka dapat urututan paling buntut (akhir),” katanya.
Ia mengatakan Airbus mendukung proyek ini karena akan melengkapi seri sebelumnya, yaitu CN-235 dan CN-295.
“Insya Allah akan cepat prosesnya karena ini bukan pesawat baru, 80 persen komponennya sudah ada di kita,” katanya.
Meskipun dalam proses sertifikasi dibantu oleh Airbus, Budi menegaskan ide dan desain murni hasil karya anak negeri.
Dia mengatakan N245 merupakan pesawat kecil untuk daerah komersil yang jika dikembangkan bisa berkapasitas bisa 30-50 penumpang seiring dengan perkembangan teknologi yang semula hanya 10-12 penumpang.
Saat ini, Budi menuturkan pesawat-pesawatnya sebagian besar dibeli untuk keperluan pemerintahan dibandingkan dengan swasta, porsinya masih 90:10 persen.
“Kalau untuk keperluan pemerintahan itu biasanya (mempertimbangkan) performance (kegunaan) paling penting, tapi kalau swasta itu harga paling penting,” katanya.
Selain itu, lanjut dia, negara-negara yang paling banyak memesan pesawat-pesawat PT DI tersebut, yaitu dari Timur Tengah dan Afrika.
“Itu pasar-pasar baru karena bisa dibilang dulu Afrika belum bisa beli pesawat baru, sekarang sudah bisa. Timur Tengah juga kita harapkan enggak ada masalah,” katanya.
Budi mengatakan salah satu kelebihan dari pesawat yang diproduksinya, yaitu bisa dimodifikasi sesuai pesanan, terutama untuk VVIP.
“VVIP juga bisa dua versi, bisa dipakai penumpang biasa, bisa dipakai medical (medis), jadi satu pesawat dengan berbagai konfigurasi seperti ini, kalau pabrik besar kan sudah malas mengerjakannya,” katanya.
No comments:
Post a Comment